Pikiran kritis adalah kecakapan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kecakapan ini memampukan seseorang untuk memahami, menganalisa, dan membuat keputusan dengan akal sehat. Kabilah ini sangat diperlukan dalam berbagai aspek, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga tantangan yang lebih kompleks. Tetapi, apakah kecakapan berpikir kritis ini dapat kita aplikasikan terhadap konsep dzat Allah SWT? Mengapa kita diberitahu untuk menjauhkannya?
Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu memahami beberapa hal tentang kepercayaan dan pandangan dalam agama Islam yang erat kaitannya dengan praktek berpikir kritis.
Allah SWT dan Sifat-Nya
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah zat yang Maha Esa, yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. Allah memiliki sifat-sifat yang disebut Asmaul Husna, yaitu nama-nama baik yang menggambarkan sifat-Nya. Agama Islam mengajarkan umatnya untuk memahami dan mempercayai sifat-sifat tersebut sebagai bagian dari keyakinan dalam tauhid.
Pembatasan dalam Berpikir Kritis terhadap Dzat Allah
Secara umum, Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal pikiran mereka. Agama ini menghargai kebenaran yang ditemukan melalui penalaran dan eksplorasi intelektual. Namun, berpikir kritis tentang dzat Allah SWT ditegaskan sebagai sesuatu yang dilarang dalam ajaran Islam.
Alasan utamanya adalah karena pemahaman tentang dzat Allah SWT melebihi kapasitas pemahaman manusia. Membayangkan atau merenungkan dzat Allah SWT dengan akal pikiran kita berarti mencoba membatasi konsep dari yang tidak terbatas, mencoba memahami keabadian dalam parameter waktu dan ruang kita, yang pada dasarnya adalah mustahil.
Implikasi dari larangan ini
Larangan ini bukan berarti seorang muslim tidak boleh mempertanyakan atau mengeksplorasi agama dan keyakinannya dengan pikiran kritis. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk merenung dan berpikir, untuk mengeksplorasi dan memahami dunia di sekitar mereka.
Larangan ini lebih kepada pengingat bahwa ada batasan untuk apa yang dapat kita pahami dengan akal pikiran kita. Sebagai manusia, kita memiliki batasan dalam pemahaman dan pengetahuan kita. Dengan demikian, dalam konteks dzat Allah SWT, kita sebaiknya memfokuskan pemahaman kita pada apa yang telah Dia wahyukan kepada kita melalui Al-Quran dan hadis Nabi, dan bukan mencoba mencapai pemahaman yang melebihi batas yang telah ditentukan itu.
Di samping itu, larangan ini juga bertujuan untuk mencegah kesesatan dalam beriman, seperti penyelewengan aqidah dan praktik syirik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami batasan-batasan ini dalam berpikir kritis dalam konteks ajaran Islam.
Kesimpulan
Meskipun berpikir kritis adalah aspek penting dari pemahaman dan eksplorasi kita, dalam konteks agama Islam, terdapat batasan yang telah ditentukan. Ketika berurusan dengan konsep dzat Allah SWT, kapasitas pemahaman dan pengetahuan manusia memiliki limitasi. Menghargai batasan ini bukanlah pengekangan terhadap intelektualitas, tetapi lebih kepada pengakuan terhadap kemampuan dan batasan pengetahuan kita sebagai manusia.