Sejarah sebagai disiplin ilmu memang memiliki tujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran, dan pada banyak kasus sejarah seringkali dipandang sebagai elemen objektif. Namun subjektivitas dalam interpretasi sejarah seringkali tidak dapat dihindari. Berikut beberapa alasan mengapa subjektivitas dalam interpretasi sejarah mungkin terjadi:
1. Perspektif Personal Penafsir
Setiap sejarawan memiliki latar belakang, pandangan politis, sosial dan budaya yang unik. Latar belakang inilah yang seringkali mempengaruhi cara mereka menafsirkan dan memahami peristiwa historis. Subjektivitas ini terakhir bisa mewarnai cara bagaimana penafsiran dan interpretasi sejarah yang disampaikan ke publik atau komunitas akademik.
2. Akses Terbatas terhadap Sumber
Dalam interpretasi sejarah, sering kali fakta-fakta yang ada dibentuk berdasarkan sumber-sumber tertulis atau artefak-artefak yang ada. Akses terbatas terhadap sumber ini bisa mengarah pada interpretasi yang berbeda-beda, karena setiap sejarawan hanya dapat bekerja dengan sumber yang ada di hadapannya.
3. Konteks Sosial dan Budaya
Seringkali, interpretasi terhadap peristiwa sejarah sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya tempat sejarah ini diceritakan. Peristiwa sejarah yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda, tergantung latar belakang sosial dan budaya mereka.
4. Perspektif Waktu
Sebagian besar interpretasi sejarah dilihat melalui lensa waktu, bisa jadi interpretasi sejarah mengenai suatu peristiwa berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Hal ini tentunya memberikan subjektivitas yang lebih besar terhadap interpretasi sejarah.
Kesimpulan
Subjektivitas dalam interpretasi sejarah sering kali tak terhindarkan. Namun, penting untuk diingat bahwa meski subjektivitas ini ada, bukan berarti sejarah menjadi tidak relevan. Justru subjektivitas inilah yang membuat interpretasi sejarah menjadi lebih kaya dan memberikan ruang bagi dialog dan diskusi yang lebih beragam.