Hukum waris di Indonesia merupakan suatu sistem yang cukup kompleks. Hal ini dikarenakan hukum waris di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh hukum positif atau hukum yang tertulis saja, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai unsur budaya dan adat. Salah satu simpul yang kerap kali mencuat adalah mengenai hak waris anak luar kawin. Topik ini menjadi semakin penting untuk dibahas pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Larutan Hukum Anak Luar Kawin
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengubah pandangan hukum tentang status anak luar kawin. Sesuai dengan putusan tersebut, seorang anak di luar kawin berhak atas harta waris dari ayahnya. Pembagian harta warisan ini tentunya didasarkan pada tolak ukur tertentu yang tergantung pada sistem kekerabatan yang digunakan oleh masing-masing keluarga.
Kekerabatan Patrilineal
Sistem kekerabatan patrilineal menyatakan bahwa seorang anak akan mendapatkan warisan dari ayahnya. Dalam konteks anak luar kawin, pasca putusan MK tersebut, anak di luar kawin memiliki hak yang sama dalam menerima warisan seperti halnya anak dalam kawin. Hal ini berarti, meskipun seorang anak lahir di luar perkawinan sah, ia tetap memiliki hak untuk menerima bagian dari warisan ayahnya, sepanjang bisa dibuktikan bahwa hubungan ayah dan anak tersebut memang ada.
Kekerabatan Matrilineal
Sedangkan dalam sistem kekerabatan matrilineal, seseorang akan mewarisi harta dari ibunya. Dalam hal ini, status anak luar kawin tidak menyebabkan perbedaan hak dalam pembagian harta warisan. Anak luar kawin tetap berhak atas harta waris dari ibunya, sama seperti anak kandung yang lahir dalam perkawinan. Yang menjadi perbedaan adalah siapa yang dianggap sebagai ibu dalam konteks hukum ini.
Kekerabatan Parental
Sistem kekerabatan parental, atau bilateral, adalah sistem yang mengakui kedua garis keturunan, baik dari ayah maupun ibu. Dalam hal ini, hak waris anak luar kawin juga diakui, baik dari pihak ayah maupun ibu. Artinya, anak luar kawin berhak atas harta warisan dari ayah dan ibunya, sebagaimana anak dalam perkawinan.
Terbitnya Putusan MK tersebut seakan menjadi titik terang baru bagi posisi anak luar kawin, sebuah harapan bahwa discriminate terhadap mereka dapat dikurangi, bahkan dihapus. Namun tentu, untuk mencapai sistem pembagian harta warisan yang adil, masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan penerapan hukum yang popular dan mantap.
Jadi, jawabannya apa? Dalam konteks hukum warisan Indonesia, sejak putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin memiliki hak waris yang sama dengan anak dalam kawin, baik dalam sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal maupun parental. Sebuah langkah maju menuju pemberian hak dan perlindungan yang sama bagi setiap individu dalam hal warisan.