Pada zaman praaksara, manusia memiliki cara hidup yang sangat berbeda dibandingkan dengan zaman modern saat ini. Tanpa teknologi atau alat bantu canggih seperti saat ini, manusia praaksara harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Salah satunya adalah dalam hal mencari makanan. Pada zaman itu, cara hidup dengan mengumpulkan makanan dinamakan dengan istilah “foraging” atau “pengumpulan”.
Masyarakat praaksara yang berpindah-pindah atau nomaden memiliki ketergantungan yang kuat terhadap alam sekitar. Mereka menggunakan strategi pengumpulan, berburu, atau mencari makanan dari sumber daya alam seperti buah-buahan, sayuran liar, kacang-kacangan, dan binatang kecil. Mereka tidak memiliki pengetahuan dalam budidaya tanaman atau beternak seperti kita saat ini, sehingga kehidupan mereka sangat tergantung pada apa yang mereka dapatkan dari alam.
Dalam proses pengumpulan ini, para wanita biasanya bertanggung jawab untuk mengumpulkan buah-buahan, kacang-kacangan, dan sayuran liar, sementara para pria cenderung berburu binatang. Hal ini bukan hanya karena perbedaan kekuatan fisik, tetapi juga berkaitan dengan peranan dan pembagian kerja dalam kelompok atau komunitas mereka.
Kehidupan foraging ini memiliki tantangan tersendiri. Mereka harus bisa menemukan sumber makanan yang cukup sepanjang tahun, bahkan dalam kondisi cuaca yang ekstrem seperti musim dingin atau musim kemarau. Selain itu, mereka juga harus mampu mengenali berbagai jenis tumbuhan dan binatang, termasuk mana yang berbahaya dan mana yang aman untuk dimakan.
Strategi hidup foraging ini terus dilakukan oleh manusia praaksara hingga ditemukannya teknologi pertanian. Setelah itu, manusia mulai beralih ke model hidup yang lebih menetap dengan membudidayakan tanaman dan beternak, yang kita kenal sebagai revolusi Neolitik.
Jadi, jawabannya apa? Pada zaman praaksara, cara hidup dengan mengumpulkan makanan dinamakan dengan istilah foraging atau pengumpulan.
