Dalam konteks pendirian negara Indonesia, peranan para pendiri bangsa sangat penting untuk dianalisis, termasuk argumentasi mereka tentang penempatan ajaran syariat Islam sebagai bagian dasar dari negara.
Piagam Jakarta: Awalnya
Dialog tentang peran ajaran syariat Islam dalam negara Indonesia bermula dari rancangan Pembukaan UUD 1945, lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam piagam ini, tercantum frasa yang berbunyi “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Frasa ini menjadi fondasi argumentasi para pendiri yang ingin menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dasar negara.
Argumentasi Para Pendiri
Ada beberapa pendiri bangsa yang berargumen, salah satunya adalah Mr. Mohammad Yamin. Menurutnya, peran Islam sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim dan ini menjadi alasan kuat bagi Mr. Yamin untuk menekankan pentingnya syariat Islam dalam serta menjadi bagian dari negara.
Namun, argumen tersebut tidak serta merta diterima oleh semua pendiri bangsa. Misalnya, Soekarno dan Hatta berargumen bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari umat Islam, tetapi juga pengikut agama lain. Penempatan syariat Islam sebagai dasar negara dipandang dapat menyebabkan diskriminasi terhadap agama lain.
Kompromi dan Hasilnya
Diskusi panjang dan debat hebat akhirnya berujung pada kompromi. Frasa tentang syariat Islam dihapus, dan digantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berarti mengakui adanya Tuhan namun tidak melakukan diskriminasi terhadap agama manapun.
Saat ini, ajaran syariat Islam tidak ditempatkan sebagai bagian dasar negara Indonesia, namun kenyataanya ajaran moral dan nilai-nilai dari Islam tetap memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia.
Jadi, jawabannya apa? Argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dasar negara Indonesia akhirnya tidak diterapkan dalam bentuk yang mereka inginkan. Tetapi, pengaruh Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tetap memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat dan kebijakan negara. Dalam konteks pluralitas, Indonesia memilih untuk menjadi negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan ajaran syariat Islam sehingga merangkum semua agama dalam bingkai kebhinekaan.