Pekerja atau buruh anak masih menjadi isu yang terus mendapat perhatian di Indonesia. Fenomena ini sangat memprihatinkan, mengingat dampak buruk yang ditimbulkan bagi tumbuh kembang anak yang seharusnya mendapat pendidikan dan perlindungan yang layak. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kedudukan pekerja/buruh anak dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada? Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Aturan Perundang-undangan tentang Pekerja/Buruh Anak di Indonesia
Indonesia memiliki beberapa aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pekerja atau buruh anak, diantaranya:
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Pasal 67 menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak di bawah 15 tahun. Pasal 68 menyatakan bahwa pengusaha hanya boleh mempekerjakan anak usia 13-15 tahun untuk pekerjaan ringan dan tidak mengganggu kesehatan, pendidikan, dan perkembangan anak.
- Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Pasal 01 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas jaminan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 84 menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapat pendidikan minimal 12 tahun.
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja: Pasal 04 dan Pasal 28 melarang pemberlakuan kekerasan, penganiayaan, dan perlakuan tidak menyenangkan kepada buruh atau pekerja, termasuk anak di bawah usia 18 tahun.
Realita Pekerja/Buruh Anak di Indonesia
Meskipun Indonesia telah memiliki aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pekerja atau buruh anak, masih ditemukan adanya pelanggaran di lapangan. Berikut beberapa alasan mengapa realita pekerja/buruh anak di Indonesia belum sesuai dengan aturan perundang-undangan:
- Keterbatasan ekonomi keluarga: Banyak keluarga yang mungkin merasa terpaksa mengeksploitasi anak-anak mereka sebagai pekerja atau buruh demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
- Pendidikan yang kurang: Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak lebih rentan untuk menjadi pekerja atau buruh anak, mempertinggi risiko kerja anak ilegal.
- Kendala penegakan hukum: Meskipun ada aturan perundang-undangan, penegak hukum terkadang mengalami kesulitan dalam menemukan bukti dan menindak pelanggaran yang ada.
- Lack of awareness: Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dalam lingkungan kerja.
Kesimpulan
Belum sepenuhnya sesuai antara kedudukan pekerja/buruh anak dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia dengan aturan perundang-undangan yang ada. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti keterbatasan ekonomi keluarga, pendidikan yang kurang, kendala penegakan hukum, dan kurangnya kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya anak mendapatkan pendidikan yang layak serta menguatkan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan pekerja/buruh anak dalam sistem ketenagakerjaan.