Pertanyaan ini mengangkat dua isu sensitif yang penting, yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan aksi balas dendam yang berujung pada cedera parah. Ini adalah topik yang rumit dan sebagian besar jawabannya tergantung pada interpretasi hukum dan moral masing-masing individu.
Dari sudut pandang hukum, seorang perempuan yang menyakiti suaminya dan mengakibatkan cedera parah secara teknis adalah pelaku kejahatan. Pengadilan biasanya tidak mempertimbangkan motif balas dendam sebagai pembelaan dalam kasus kekerasan fisik seperti ini. Jadi, jika istri tersebut dituntut dan diadili, bisa jadi dia akan dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dia lakukan terhadap suaminya.
Namun, dari perspektif moral dan etika, jawabannya lebih kompleks. KDRT adalah kejahatan serius yang bisa menimbulkan trauma mendalam dan efek psikologis jangka panjang pada korban. Dalam banyak kasus, korban KDRT mungkin merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dihindari dan merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melawan. Kadang-kadang, tindakan ekstrem tersebut merupakan hasil dari perasaan putus asa dan ketakutan terus-menerus.
Kekerasan adalah siklus yang mengerikan dan tidak ada yang bisa dengan sepenuh hati mengatakan bahwa mereka mendukung aksi balas dendam dalam bentuk apa pun, tetapi banyak pihak bisa memahami kenapa seorang korban yang disiksa mengambil tindakan ekstrem. Apakah ini membuatnya menjadi pelaku kejahatan “murni”? Terkait hal ini, opini akan bervariasi.
Beberapa orang mungkin berargumen bahwa perempuan tersebut adalah korban yang dikondisikan oleh pelecehan berkelanjutan dan bukan pelaku kejahatan dalam arti tradisional. Mereka bisa berpendapat bahwa tindakannya lebih merupakan akibat dari perlakuan buruk yang diterimanya daripada keinginan bawaan untuk melakukan kejahatan.
Tetapi itulah kompleksitas hukum dan moral. Dalam banyak hal, kedua bidang ini sering berbenturan. Apa yang secara hukum dianggap sebagai kejahatan, secara moral bisa dipahami, dan sebaliknya. Jadi, tidak ada jawaban yang mutlak untuk pertanyaan ini. Sebagian besar tergantung pada bagaimana seseorang memandang hukum dan moralitas, serta bagaimana mereka mencerna dan memahami kompleksitas dari situasi tersebut.