Derajat keimanan dan petunjuk hidayah bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan atau diberikan secara langsung oleh manusia lain, bahkan sekalipun oleh seorang nabi sebesar Rasulullah SAW. Kisah yang mencerminkan hal ini adalah ketika Rasulullah SAW tidak mampu memberikan petunjuk keimanan kepada paman yang sangat dicintainya, Abu Talib.
Rasulullah SAW memang memiliki kasih sayang yang sangat besar kepada Abu Talib, paman yang telah menjadi penanggung jawab dan pelindung sejak Rasulullah masih kecil. Sayangnya, hingga akhir hayatnya, Abu Talib belum juga menerima Islam sebagai ajaran hidupnya.
Meski Rasulullah SAW meluangkan banyak waktu untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, Abu Talib tetap tidak pernah menerima ajaran tersebut. Hal ini kemudian menyisakan duka yang mendalam bagi Rasulullah SAW. Momen tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa penerimaan hidayah bukanlah sesuatu yang sepenuhnya berada di tangan manusia.
Menurut ajaran Islam, hidayah atau petunjuk hanya bisa datang dari Allah SWT. Manusia hanya dapat berusaha untuk menyampaikan ajaran tersebut, tetapi pada akhirnya penyerahan dan penerimaan hidayah sepenuhnya menjadi kehendak Allah. Bukan berarti kita tidak harus berusaha, namun kita harus paham bahwa proses pemberian hidayah ini juga mengharuskan kerendahan hati dan pengenalan diri bahwa segala sesuatu ada di tangan-Nya.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa meski seorang nabi sehebat Rasulullah SAW tidak dapat memberikan hidayah keimanan kepada orang yang dicintainya, kita harus tetap berusaha dan berdoa. Namun, kita juga harus selalu ingat bahwa pemberian hidayah adalah hak prerogatif Allah.
Para nabi dan rasul adalah pembawa berita dan penyeru kepada jalan Allah, namun bukan mereka yang menentukan siapa yang akan menerima petunjuk-Nya. Kita dapat belajar dari kisah Rasulullah SAW dan Abu Talib ini untuk terus mengingatkan dan memberi tahu orang lain tentang kebenaran agama Islam, namun kita harus selalu mengingat bahwa penyerahan dan penerimaan hidayah adalah dari Allah semata.
Konsep ini dalam Islam kita kenal sebagai “balighul mubaligh, waka’bul jawab ‘ala Allah.” Artinya, tugas seorang mubaligh adalah menyampaikan, sedangkan penerimaan itu tergantung kepada Allah. Jadi, kita harus selalu berusaha namun senantiasa pasrah atas segala hasilnya.